Aku pastikan diriku tidak bergerak sejak lima menit yang lalu ketika ia akhirnya meninggalkanku dengan sebuah kecupan manis di pipi. Aku menyandarkan tubuh di kursi lebih dalam. Ini mungkin akhir dari segalanya. Menelpon dia pun tidak memberikan jawaban yang lebih baik, bahkan lebih buruk. Ia mencaci makiku di telepon alih-alih menjawab pertanyaan terakhirku. Tiba-tiba sambungan terputus meninggalkanku yang masih dihujani pertanyaan 'apa yang harus aku lakukan?'
Gelas ketiga. Entah apa yang ada dipikiran pelayan wanita itu yang mencatat pesananku sebanyak tiga kali dalam 40 menit terakhir. Aku tidak akan mabuk dengan minum tiga gelas kopi kan?
"Papa!" teriak seorang anak kecil berlari ke arahku. Setengah sadar dan terkejut akhirnya aku menyadari anak laki-laki yang berambut ikal itu memang benar anakku. Jika dia ada disini, berarti......
'Plak!' sebuah tamparan keras menyadarkanku akan kehadiran dia. Mantan istriku.
"Apa saja kerjaanmu selama dua tahun ini sih? Kok bisa-bisanya kamu tidak mengawasi hubungannya?"
"Hei, mereka berpacaran setelah kita memutuskan untuk berpisah. Aku juga tidak tahu hubungan mereka akan selama ini."
"Kenapa kamu tidak cerita padaku?"
"Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa aku tidak boleh menghubungimu lagi?"
Ia terdiam, menggigit bibirnya kesal. Ia duduk dihadapanku dan membiarkan anaknya, ehem anakku, duduk dipangkuanku. Usianya baru lima tahun.
"Tadi dia bertemu denganku di jalan, ia menceritakannya juga. Makanya aku tau kamu ada disini." ujarnya sambil melihat ke arah luar. Aku tahu ia sedang menahan malu karena akhirnya ia yang memutuskan untuk bertemu denganku. "Aditya seperti apa sih orangnya? Kamu sudah bertemu dengannya?"
"Sudah, dia baik, cukup tampan, mapan, dewasa, usia mereka terpaut tiga tahun. Ideal."
"Jadi, kamu menyetujuinya?"
"Setuju, hanya saja aku tidak tahu harus menceritakan rahasia ini bagaimana. Aku bahkan tidak bisa membayangkan apa reaksinya jika ia tahu bahwa aku bukan kakaknya."
"Haruskah? Kenapa harus ada kejadian seperti ini ketika aku ingin menikah!"
"Menikah lagi? Siapa? Jangan bilang Admiller...."
Ia terdiam. Dugaanku benar, ia memang ada affair dengan bosnya. Alasan yang membuat kami bercerai sekarang benar-benar nyata. Aku sudah siap memakinya dan berencana mengulang pertengkaran terakhir dua tahun lalu. Gerakan mendadak anakku membuatku sadar bahwa aku tidak mungkin memakinya disini. Aku segera menarik tangan anakku ketika ia mencoba meraih gelas kopiku yang masih tersisa sedikit.
"Kamu akan bilang apa pada dia?" tanyaku melirik pada anakku yang sekarang sedang mengutak-ngatik handphoneku.
"Bukan urusanmu, aku akan mengurusnya nanti." jawabnya sambil melirik handphonenya. "Aku harus pergi, aku sudah dijemput. Kita akan membicarakan hal ini nanti. Dandy, ayo kita pulang!"
Anakku memelukku erat, aku hanya bertemu dengannya sebulan sekali. Perlu dicatat, aku hanya bertemu anakku, bukan mantan istriku. Anakku mulai merajuk tidak ingin pergi.
"Ayo pulang, besok main lagi sama papa." bujuk mantan istriku sambil mengangkatnya dari pangkuanku.
"Besok pasti papa pelgi ke Amelika lagi. Emang Amelika ada apa sih pa? Kok Dandy ga diajak?"
Aku tersenyum tipis memainkan sandiwara ini. Kami sepakat untuk memberitahunya bahwa aku kerja di luar negri. Ketika waktunya anakku bertemu denganku, aku akan menjemputnya di rumah mantan mertuaku.
"Iya, kapan-kapan papa ajak Dandy kesana deh, sekarang pulang dulu sama mama."
"Tuh kan, nanti Dandy diajak papa pergi juga. Sekarang pulang yuk, main sama Kak Renald, Kak Renald udah jemput Dandy di depan."
"Renald? Apa dia anaknya Admiller? Jadi hubunganmu benar-benar sudah seserius ini? Cih!"
"Aku sedang tidak ingin bertengkar."
"Enald!" teriak anakku ketika seorang laki-laki masuk ke gerai kopi tempat kami berada dan langsung menghampiri kami.
Tapi tunggu.....
"Aditya?"