Sunday, October 20, 2013

(un)lucky!

Jam menunjukkan pukul setengah 10 pagi menjelang siang. Matanya menatap lurus kepada arah jarum jam yang terus berputar dan dalam hati menghitung maju sambil terus berharap ada keajaiban yang menunggunya pukul tujuh malam nanti. Kertas jawaban dan soal ujian telah dibagikan. Tangan kanannya dengan cekatan mengambil pulpen dan mulai mengisi baris demi baris di kertas jawaban yang telah disediakan. Ia tidak membiarkan otaknya berpikir terlalu lama untuk menjawab, toh dosennya berkata beliau tidak akan mengambil nilai dari ujian tersebut. Yang dosennya butuhkan hanyalah kehadiran dan tanda tangan. Sekitar setengah jam ia mulai mengarang bebas sampai halaman ketiga. Pendingin ruangan juga mulai memaksa tubuhnya yang tidak kuat dingin  bergerak buru-buru keluar. Sweater tipisnya tidak cukup. Dan akhirnya ia menyerahkan diri pukul sepuluh lewat lima belas menit.

Ia keluar, bercanda dengan teman-teman sekelasnya, duduk-duduk di kantin dan ikut belajar untuk ujian selanjutnya sebagai formalitas, atau mungkin lebih tepatnya sebagai ketenangan dan sugesti bahwa setidaknya ia telah belajar walaupun sedikit. Walaupun ia tahu pikirannya tidak lagi berada dikampus. Pikirannya melayang ke jam tujuh malam nanti dimana band kesukaannya akan mengadakan konser pertama di Jakarta.

Pukul empat sore ia berangkat mengadu nasib. Mengatasnamakan mental VIP tanpa tiket yang dapat membawanya masuk ke tempat konser. Belasan kuis gratisan telah ia ikuti, sholat wajib dan sholat sunah juga ia lakukan demi mendapatkan keberuntungan. Namun Tuhannya belum mengizinkan dan membuat ia terpaksa mencari tiket di tempat. Sesampainya disana ia sempatkan sholat Maghrib, menambah keafdolan pikirnya. Mencari secercah harapan dari setiap calo yang lewat yang tetap tidak ingin menurunkan harga tiketnya sampai akhirnya pukul tujuh malam, konser dimulai.

Suara sang vokalis menggema di dalam ruangan indoor yang memaksa menyeruak keluar, merambat di setiap telinga fans-fansnya yang masih belum mendapat tiket. Suara drum, bass dan guitar semakin menambah keseruan ditambah teriakan-teriakan fans yang sudah di dalam. Ia hanya melengos menyayat hatinya yang terasa sedih. Menampar diri agar tidak menangis walaupun sebenarnya ingin. Jarak ia dengan band idolanya hanya beberapa meter yang dipisahkan oleh pagar pembatas dan dinding tebal. Ia merutuki nasibnya diri sendiri, ia pulang tanpa hasil.

Berdiri di transportasi umum hanya menambah sakit dan pegal di kakinya. Pikirannya tidak fokus dan perasaannya campur aduk. Adakah yang lebih buruk? Hujan kemudian mengguyur ibu kota. Ia sudah lelah, ia bahkan tidak ingin berdebat dengan Tuhan. Ia tahu ini konsekuensinya.

Sesampainya di rumah hampir tengah malam. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan laki-laki kesayangannya berada di rumah. Menyanyikan lagu band idolanya dengan susah payah, berharap wanita dihadapannya memberikan senyuman atas kesedihan dan kelelahannya malam ini. Ia pun tersenyum bahagia.

Namun ia melupakan sesuatu. Itu hanya harapannya saja. Tidak ada laki-laki di rumahnya yang dapat menghiburnya. Ia hanya pulang begitu saja dan berharap tidak disindir karena memaksa berangkat menonton konser. Ia kembali meratapi dirinya, meng-unfollow semua fanbase dan semua akun yang dapat membuatnya semakin bersedih dan menyesal. Ia hanya ingin tidur dan melupakannya.

Ia adalah aku di sabtu malam kemarin.

20 Oktober 2013
kejutan ulang tahun pun belum kunjung datang.