Wednesday, July 17, 2013

Harga yang Harus Dibayar

Seorang perempuan setengah berlari memasuki sebuah kedai makanan penutup yang terletak di pusat kota. Sepatu hak tingginya beradu dengan lantai membuat ketukan-ketukan seirama. Ia kemudian melambai semangat ke arah sudut ruangan dimana terdapat empat orang sudah menunggunya. Satu orang perempuan dan tiga orang laki-laki. Mereka saling menyapa sebelum akhirnya ia duduk di sebelah satu-satunya perempuan diperkumpulan itu.

"Telat banget lo ya, parah, meninggalkan gue bersama tiga orang ini."

"Sory Ka, macet." ia menjawab ledekkan temannya yang dipanggil 'Ka' itu dengan alasan klise.

"Yah, kapan sih Desra dateng on time." seru salah seorang laki-laki dengan kemeja biru tua yang disambut dengan tawa dari lainnya. Desra hanya beringsut sambil diam-diam memperhatikan masing-masing dari mereka. Pertemuan setiap akhir bulan ini selalu sukses membuatnya lupa akan segala hal tentang pekerjaan kantornya. Desra bahkan masih menaruh kekagumannya pada salah seorang dari mereka yang duduk dihadapannya. Seorang laki-laki yang sedang ikut tertawa memamerkan gigi-giginya sambil sesekali mengambil kentang goreng yang tersedia di atas meja. Bahkan di setiap pertemuan ini ia selalu lupa--atau sengaja--tidak melepaskan id card-nya yang tertulis namanya dengan jelas, Egwar.

"Desra yang traktir hari ini! Ayo pesan makan lagi!" si kemeja biru tua mulai melambaikan tangan sebagai tanda untuk pramusaji agar menghampirinya.

Setelah pemesanan makanan yang dipenuhi dengan keributan kecil itu, mereka mulai saling bercerita, berkeluh kesah mengenai pekerjaan kantor masing-masing. Dan semuanya mulai berteriak semangat mendengar salah satu dari mereka, yang paling muda, mengatakan akan bertunangan minggu depan.

"Bima selamat!" Kalika mulai mengulurkan tangannya dan berusaha menepuk-nepuk bahu Bima yang berada di sebrang meja.

"Padahal seinget gue Bima cinta mati sama Kalika deh, eh sekarang udah mau tunangan aja dia." komentar Egwar yang langsung disambut dengan keheningan sebelum akhirnya ia melanjutkan perkataannya lagi. "Hahaha itu dulu banget kali waktu awal-awal ketemu, gue juga pernah kok nyimpen perasaan buat Desra."

Pengalihan Egwar malah membuat Desra salah tingkah. Tiba-tiba saja mereka semua tertawa bersama seakan mengerti dan mengetahui perasaan masing-masing.

"Yah, untung aja sih ga jadi, merusak persahabatan ga sih nantinya?" ungkap Dion yang berkemeja biru tua. Dion bahkan masih mengagumi Kalika sampai saat ini walaupun masing-masing dari mereka sudah memiliki kekasih.

"Hahaha iya nanti pasti canggung, kita ga bisa ngumpul kaya gini lagi deh." balas Kalika.

"Jadi atau engga, bayarannya besar." Desra menggumam. Yang lainnya langsung melihat ke arahnya seperti menunggu penjelasan selanjutnya. "Nih ya maksud gue, kalo ditolak jadinya canggung. Elo akan kehilangan seorang sahabat. Kalo diterima, elo juga akan kehilangan sahabat. Karena dia udah jadi pacar, bukan sahabat lagi. Harga yang harus dibayar besar kan?"

Egwar hanya tersenyum mendengar penjelasan Desra. Kemudian Dion mengangkat gelas minumannya seakan mengajak mereka bersulang.

"Untuk persahabatan kita. Untuk Bima yang mau tunangan."

Yang lain ikut mengangkat gelasnya dan bersulang untuk kebersamaan mereka yang hampir sepuluh tahun ini. Dalam pikiran masing-masing, mereka memikirkan betapa beruntung atau tidak beruntungnya mereka memiliki satu sama lain sebagai sahabat. Ya, ada harga yang harus dibayar.


"A guy and a girl can be just friends,
but at one point or another, they will fall for each other,
Maybe temporarily, maybe at wrong time, maybe too late,
or maybe forever." -500 Days of Summer

Min Ah bukan Minah

Namaku Kevin. Umurku 8 tahun. Aku tampan. Pipiku sedikit gembul sangat menarik teman-teman kakakku yang cantik-cantik untuk mencubitku. Pokoknya aku keren!
Hari Minggu aku diajak Khansa ke mall. Tumben sekali dia mengajakku jalan, biasanya ia pergi bersama pacarnya. Ia berjanji akan membelikanku macam-macam jika aku bersikap baik. Oke, aku setuju. Apa susahnya sih, tidak berlari-larian di mall?

"Gundam!" seruku sambil berlari kecil ke salah satu toko. "Ah, mobilan baru!" aku berlari ke arah lain saat seorang petugas toko memajang mobil baru di etalase. Aku mulai berlarian kesana kemari seperti anak kecil melihat barang-barang bagus di mall. Khansa mulai mengikutiku dengan sepatu tingginya yang membuat ia tertinggal jauh di belakang. Huh, padahal dia baru 20 tahun tapi sudah seperti nenek-nenek.

Tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki menghampirinya. Aku buru-buru berlari ke arahnya takut-takut ia orang jahat yang mengganggu kakakku. Dan tiba-tiba saja sikap Khansa berubah menjadi sangat manis mengenalkanku pada laki-laki itu. Aku yakin sekali ini bukan pacarnya. Ah, jadi Khansa sedang selingkuh ya?

"Ini adikku, Kevin. Kevin, ini kenalkan Kak Mario."

Aku menatap lekat laki-laki tinggi yang berada dihadapanku ini. Kulitnya putih. Lumayan tampan, walaupun aku lebih tampan tentu saja. Ia tersenyum padaku. Kemudian, seorang gadis kecil di sebelahnya menarik-narik kemejanya dan mengucapkan sederetan kalimat yang tidak aku mengerti. Aku hanya bisa mengenali kata 'oppa' yang selalu Khansa teriakkan jika sedang menonton film-film Korea. Sekarang aku penasaran apa arti kata itu.

Gadis kecil itu melihatku. Matanya sedikit lebih kecil dari Kak Mario. Ia memakai baju bermotif bunga dan pita. Sederhana, ia cantik. Ah, aku rasa ini namanya jatuh cinta. Kemudian Kak Mario berlutut hingga tingginya hampir menyamaiku.

"Halo Kevin, aku Mario. Ini adikku, umurnya baru 7 tahun. Hari ini kita main bersama ya."

Dan tiba-tiba saja gadis kecil itu menunduk ke arahku.

"Annyeonghaseyo, jae ireumen Min Ah nimida." ucapnya manis.

"Namanya Min Ah." tiba-tiba saja Khansa jadi penerjemah untukku.

"Apa? Minah?" balasku ragu. Jadi, nama wanita cantik ini sama dengan bibi di sebelah rumah toh. "Kevin. Ke-vin." Aku mengucapkan namaku dengan keren, pasti dia menyukaiku. Kemudian Minah mulai berbicara bahasa aneh lagi dengan Kak Mario yang dibalas dengan bahasa aneh juga. Aku butuh subtitle nih!

"Kak Mario, Minah ga bisa ngomong Bahasa Indonesia ya?" tanyaku lagi.

"Bisa kok!" jawab Minah bersemangat. "Oppa!" serunya lagi.

"Kevin bukan oppa!"

Ia tertawa kecil sambil bersembunyi di balik kaki panjang Kak Mario. Ah, jangan-jangan artinya 'oppa' tampan. Ya, aku oppa.
***

Aku berlari menaiki tangga menuju kamar Khansa. Aku langsung membuka pintu kamarnya dan menemukan Khansa sedang mengerjakan tugasnya.

"Khansa! Khansa! aku butuh bantuan!" teriakku sambil duduk sembarangan di atas kertas-kertas yang berserakkan.

"Apa? Bikin susu? Aku sedang sibuk nih."

"Kalo kamu gamau bantuin aku, aku bilangin sama Kak Doni hari kemarin kamu selingkuh sama Kak Mario!" ancamku. "Ya, walaupun aku suka Kak Mario sih karena dia beliin aku mainan."

"Heh, siapa yang selingkuh? Kak Mario ini temen kampusku tau! Kak Doni juga kenal Kak Mario kok. Emangnya kamu mau minta tolong apa?"

Aku diam sebentar takut Khansa akan mentertawaiku. Tetapi, aku sudah tidak tahan lagi.

"Bikinin aku surat cinta dong! Pake Bahasa Korea ya!" balasku sambil memberikan selembar kertas dan segenggam krayon.

"Emangnya buat siapa? Lagipula aku ga bisa Bahasa Korea, aneh-aneh aja nih."

"Buat Minah. Bilang Minah cantik, aku cinta sama Minah. Minah mau ga jadi pacar aku. Terus suratnya kasih Kak Mario suruh kasih Minah."

Sesuai dugaanku, Khansa tertawa terbahak-bahak. Ia kemudian mencubit pipiku, aset ketampananku. "Kevin, namanya Min Ah, bukan Minah! Min-Ah. Nih tulis aja kaya gini, Min Ah saranghae."

Aku kemudian menulis ulang huruf-huruf yang diberikan Khansa sambil berulangkali mengucapkannya. Aku tambahkan namaku dibawahnya, Kevin Oppa, artinya Kevin tampan.
***

Setiap hari aku menunggu Khansa dengan gelisah. Aku belum mendapat balasan. Jangan-jangan Khansa tidak memberikannya atau sebenarnya aku ditolak. Bagaimana kalau dia ga suka cowok Indonesia tampan sepertiku? Bagaimana kalo dia cuma suka cowok-cowok Korea yang bisa nari sambil nyanyi? Aku sakit kepala jika memikirkannya. Hingga akhirnya tiga hari kemudian, Khansa memberikanku selembar kertas berwarna pink. Wanginya harum sekali. Ini wanginya Minah, eh Min Ah. Aku buru-buru membukanya dan merasa sedih sekali. Aku tidak bisa membaca tulisannya. Jangan-jangan ia menolakku. Kalau aku diterima kenapa ia harus menulis dengan huruf aneh gini sih. Aku mau menangis.

오빠, 사랑해*

"Mama, besok Kevin mau les Bahasa Korea!"

*Oppa, saranghae

Tuesday, July 16, 2013

Menjadi Dewasa

"Aku mau es krim, aku mau es krim!" seru seorang gadis muda dengan pita berenda berwarna biru muda kepada seorang laki-laki di sebelahnya. Laki-laki yang mengenakan kaos bergambar robot itu hanya mengusap-ngusap kepala si gadis alih-alih membelikannya es krim.

"Ih, kamu tuh ya! Sebentar lagi dua puluh tahun masih aja kaya anak kecil!" ujar laki-laki itu gemas sambil mencubit pipi si gadis yang sedikit gembul.

"Biarin, emang dua puluh tahun ga boleh makan es krim?" balas si gadis sambil memajukan bibirnya.

Laki-laki itu hanya tertawa kecil melihat kelakuan si gadis yang berpura-pura kesal padanya. Ia kemudian menggandeng tangan si gadis sambil mengajaknya menjauh dari kedai es krim. Si gadis yang sudah melupakan es krimnya mulai menggelayut manja pada tangan kekasihnya. Berulang kali ia menyenderkan kepalanya ke bahu si laki-laki sambil bernyanyi riang.

"Aku cape, gendong dong." ujar si gadis saat mereka sudah berjalan sekitar setengah jam.

"Sampai kapan kamu mau jadi kaya anak kecil gini?" balas si laki-laki sambil mengetuk lembut kening si gadis.

"Sampai kamu lebih tua dari aku. Selama kamu lebih tua, aku akan tetap kaya gini."

"Heh, kita cuma beda beberapa bulan!"

"Sepuluh bulan itu lumayan loh! Pokoknya karena kamu lebih tua, kamu harus lebih dewasa dari aku! Ayo, sekarang gendong, sebentar, sampai situ tuh." balas si gadis sambil tertawa kecil menunjuk ke arah pepohonan yang lebih rindang. Laki-laki itu hanya tersenyum memandang penuh kasih kepada gadis di sebelahnya yang mulai lompat ke punggungnya. Si laki-laki akhirnya pasrah mengikuti kemauan si gadis yang terdengar bahagia sekali saat ia menggendongnya.

"Aku sayang banget sama kamu! Pokoknya kamu laki-laki terbaik!"
***

Riani berlari sekuat tenaga menyusuri koridor rumah sakit saat mendapat panggilan darurat dari kamar 315. Ia tidak peduli jika sepatu hak yang baru ia beli kemarin harus patah karena hal ini. Ini bukan masalah hidup dan mati seorang pasien lagi. Ini karena Enzo, mantannya satu setengah tahun lalu yang mendadak sakit parah dalam beberapa hari terakhir. Riani buru-buru mengatur nafasnya sebelum akhirnya ia membuka pintu kamar 315 dan menemukan Enzo terbaring lemah dengan selang infus di tangan kirinya.

"Hai," sapa Enzo yang wajahnya terlihat lebih pucat dari kemarin.

"Kenapa? Apa yang sakit? Kamu merasakan apa?" Riani buru-buru mengeluarkan stetoskopnya dan mulai memeriksa denyut jantungnya.

"Tidak, aku baik-baik saja sungguh. Hanya saja akhir-akhir ini aku sering didatangi."

"Kamu jangan bercanda! Aku sudah cukup kesal kamu tidak memberitahuku bahwa kamu dirawat disini dari seminggu yang lalu."

"Mana bisa aku memberitahumu untuk melihatku dalam keadaan begini." balas Enzo sambil tertawa lemah. "Hei, kamu tahu tidak? Katanya kalau sering didatangi itu artinya sudah dijemput."

"Sudahlah diam, jangan berkata yang tidak-tidak."

"Ah, ternyata aku masih diberi kesempatan untuk beretemu kamu disaat terakhirku. Aku pasti bahagia jika aku mati sekarang."

"Kamu bisa diam tidak? Aku benci kamu!" suara Riani mulai meninggi, tanpa sadar air matanya sudah menetes.

"Riani, sayang, apakah harus detik-detik terakhir dikehidupanku kita habiskan dengan bertengkar?"

Riani membungkam mulutnya. Lagi-lagi Enzo tersenyum memandangnya penuh kasih, hal yang paling Riani benci ketika ia sedang kesal padanya.

"Aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu menyayangi kamu."

"Kamu sedang tidak membuat pesan terakhir bukan? Kamu belom boleh mati!"

"Kamu dokter, bukan Tuhan. Aku hanya jaga-jaga aja kok." ujar Enzo sambil meledek. "Aku punya permintaan."

"Kamu mau bilang aku ga boleh nangis di pemakaman kamu?" balas Riani sambil memaksakan diri untuk tertawa.

"Tadinya sih, tapi tidak apa-apa jika kamu ingin menangis." Enzo terdiam sebentar kemudian memandang ke segala arah sebelum akhirnya ia berbicara lagi. "Bulan depan umur kita sama, setelah itu kamu harus lebih dewasa. Berhenti bersikap seperti anak kecil!"

"Aku kan sering bilang, bahwa aku akan tetap begini sampai...."

"Jika aku mati besok, nantinya kamu akan lebih tua dariku bukan? Jadi, kamu sudah tidak ada alasan untuk bersikap seperti anak kecil lagi."

Riani membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar selain hembusan nafasnya.

"Dan wanita dewasa harus bisa menerima. Jangan menangis di pemakamanku."

Enzo memejamkan matanya. Dalam hatinya ia masih ingin mengatakan bahwa ia ingin kembali bersama Riani. Namun, Enzo tidak ingin membuat segalanya menjadi rumit. Riani sudah bertunangan. Enzo hanya bisa menarik nafas panjang dan menggumam pelan.

"Tuhan, aku siap sekarang."

Dear God, the only thing i ask of you
is to hold her when i'm not around,
when i'm much too far away

Dear God, Avenged Sevenfold

Friday, July 12, 2013

Sederhana

"Apa yang menyatukan kalian? Film? Musik? Perbedaan? Ah, cinta?"

"Makanan."


Sesungguhnya, hanya sesederhana itu.
:)

Monday, July 8, 2013

I'll Always Love You, Bas!

Aku menatap Bastian kesal, sudah lima menit ia memandang ke arah wanita yang duduk di sebrangku tanpa henti. Apa sih yang sedang ia lihat? Seorang wanita dengan rambut di cat sedikit pirang memakai kaus berdada rendah yang sangat menonjolkan bagian atasnya. Tidak lupa perpaduan rok pendek dan wedges yang semakin membuat kaum adam tersihir untuk melihatnya. Dasar laki-laki!

"Bas, aku mau ngomong!" ujarku kemudian. Ia kemudian melihat ke arahku dengan mata hitamnya yang selalu membuatku meleleh ketika ia beradu pandang denganku. Aku mendapatkan perhatiannya.

Aku melihat jam yang semakin bergerak menuju angka dua belas, seharusnya aku sudah masuk ke ruang tunggu pesawat. Alih-alih buru-buru berpamitan, aku duduk di salah satu kedai di bandara bersama Bastian tanpa melakukan pembicaraan berarti. Aku tidak peduli jika harus ketinggalan pesawat dan harus menginap satu hari lebih lama lagi. Seminggu tidak cukup.

Aku menatap kekasih lima tahun-ku ini. Aku menyeruput habis minumanku sambil menimbang-nimbang apakah aku harus mengatakan hal ini atau tidak. Aku hampir melupakan tujuanku terbang ke Sydney menemuinya hanya untuk menanyakan satu hal, apakah ia akan menikahiku. Keluargaku mulai tidak sabar melihat anak bungsunya akan berumur 27 tahun bulan depan dan belum ada kepastian dari Bastian untuk menikahiku. Menurut mereka sudah saatnya aku meninggalkannya jika ia tidak berniat untuk serius.

"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" ia bertanya kepadaku setelah tiga menit aku diam tanpa melanjutkan perkataanku.

"Aku menyayangimu, Bas." ujarku pada akhirnya.

"Ya, aku juga menyayangimu."

Alarm ponselku berbunyi. Aku yang sengaja memasangnya satu jam lalu kalau-kalau aku lupa waktu untuk segera mengejar pesawat. Aku buru-buru menekan segala tombol untuk menghentikan bunyi nyaring dari ponselku.

"Sudah saatnya pergi ya?" Bastian menyadari tujuanku memasang alarm.

"Tidak, kita masih punya waktu lima belas menit lagi kok." jawabku bohong.

Bastian hanya tersenyum, kemudian menggandeng tanganku dan mengajakku keluar dari kedai. Ia mengantarku sampai ke batas yang tidak boleh ia lewati sebagai pengantar. Aku mendadak gugup dan panik memikirkan apa yang harus aku katakan pada keluargaku nanti, aku terlarut dalam kesenangan tinggal di apartemen Bastian tanpa sempat menanyakan hal-hal mengenai pernikahan.

"Bas, sudah hampir satu bulan dan kamu tidak berniat untuk kembali?" air mata mulai mengisi pelupuk mataku dan siap menetes kapan saja.

"Sebentar lagi sayang, aku akan pulang, bahkan sebelum ulang tahunmu."

"Kalau begitu, aku akan menunda kepulanganku. Aku akan pulang bersamamu nanti saja!"

"Tidak perlu, kamu tunggu saja di rumah. Aku pasti pulang. Sebentar lagi semua pekerjaan ini selesai dan aku akan hidup bersama kamu."

Ia memelukku. Pikiranku dipenuhi dengan segala tetek bengek mengenai kelangsungan hubungan dan pernikahan yang seharusnya aku tanyakan, tetapi ia bilang akan hidup bersamaku, apakah ini artinya setelah ia kembali ia akan menikahiku? Terlambat, air mata sudah menetes. Aku sudah tidak kuat lagi menahannya, aku tidak ingin kembali berpisah dengannya.

"Hei," ia melepaskan pelukannya dan mulai menghapus air mataku. Ia kemudian merogoh saku celananya dan mengambil sebuah kotak kecil beludru berwarna merah. Tangisanku semakin menjadi ketika aku menemukan sebuah cincin berwarna putih dengan permata cantik di atasnya.

"Tadinya aku mau ngasih ini kalo udah pulang, sekalian buat kejutan ulang tahun kamu, tetapi sepertinya kamu khawatir aku tidak pulang." jelasnya sambil menyematkan sebuah cincin di jari manisku. Kami sempat menjadi perhatian beberapa orang di sekitar kami. Aku hanya bisa memeluknya erat tanpa berkata apa-apa.

"Aku mencintaimu. Aku menyayangimu. Tunggulah, aku akan kembali beberapa waktu lagi. Jangan khawatir."

Ia mengecup keningku lembut sebelum akhirnya aku meninggalkannya untuk mengejar pesawatku.
***

Akhirnya aku berada di rumah Tuhan, menghadap-Nya yang aku percaya telah mempersatukan aku dan Bastian. Ia memakai tuksedo berwarna hitam dengan dasi kupu-kupu. Rambutnya pun telah disisir dengan rapi. Ia tersenyum bahagia. Aku masih memakai cincin yang ia berikan padaku di bandara seminggu yang lalu. Kemudian aku berbisik kepadanya,

"Kamu sangat tampan,"

Aku terdiam sebentar, mengatur detak jantungku yang tidak beraturan. Kemudian aku mencium keningnya dan berbisik lagi bahwa aku sangat mencintainya. Aku tahu ia tidak akan menjawab, ia hanya akan memberikan senyumnya yang selalu membuatku merasa tenang. Aku mengangguk kepada pendeta menyiratkan bahwa ini sudah saatnya.

Peti mati itu pun ditutup, meninggalkan Bastian yang tertidur tenang untuk selamanya.

I have died everyday waiting for you,
Darling don't be afraid I have loved you,
For a thousand years,
I'll love you for a thousand more

A Thousand Years, Christina Perri