Entah. Aku rasa kata itu cukup untuk
mengawali semuanya. Kemudian, selanjutnya dimulai dengan kamu. Kamu berada
dihadapanku dengan jarak kurang dari satu meter. Aku bisa melihat kamu dengan
jelas. Mata yang dahulu pernah menatapku dengan penuh kasih, kini dipalingkan
ke arah lain. Mulut yang pernah menyuarakan bahwa kamu menyayangiku, kini
menyuarakan hal lainnya tanpa mengajakku turut serta dalam pembicaraanmmu.
Bagian terburuknya aku berada tepat dihadapanmu dan kamu lebih senang
memalingkan wajahmu ke arah lain atau fokus terhadap makananmu. Dan aku? Aku
hanya bisa menatapmu, kosong, dengan semua rasa sakit yang semakin lama terasa
menyesakkan. Bahkan disaat kamu membelakangiku, bersenda gurau dengan orang
lain—atau wanita lain lebih tepatnya—aku masih saja memperhatikan punggungmu
yang sesekali bergerak seirama putaran badanmu. Aku bahkan kasihan pada diriku
sendiri, bisa-bisanya aku merendah seperti ini,bahkan mengabadikannya ini pada
sesuatu yang lebih kuat daripada sekedar ingatan. Bodoh!
Lupa. Sungguh, sekarang semuanya terasa
samar. Aku mulai lupa saat-saat yang membuatku berpikir bahwa aku wanita
beruntung memilikimu, aku bahkan tidak ingat bahwa kita pernah menjalin sebuah
hubungan dan yang kemudian berakhir begitu saja.
Bohong. Tentu saja tiga kalimat di atas
bohong. Mana mungkin aku tidak ingat. Aku bahkan masih bisa memutar ulang semua
kejadiannya. Hanya saja tidak seperti dulu yang meninggalkan senyuman saat aku
mengingatnya, kali ini lebih terasa pahit. Kali ini rasa sakitnya bukan karena
semua omong kosong yang pernah kamu ucapkan padaku, tetapi karena kamu
mengabaikanku.Sakit karena rasanya bukan sebagai teman. Tetapi aku hanya
sebagai kenalanmu. Ya seorang kenalan dimasa lalu.
No comments:
Post a Comment